Tangerang Selatan, Suara-Rakyat.ID – Sekumpulan anak muda yang tergabung di Indigenous Organic, sebuah organisasi sosial menggelar Forum Group Discussion dengan tema “Baduy dulu, kini dan nanti”, di caffee Men.Bar di bilangan Pondok Aren Tangerang Selatan, Sabtu malam (31/5/2025). Dalam kesempatan itu hadir sejumlah budayawan, akademisi, pegiat seni budaya, birokrat serta para pemuda pecinta Baduy, jurnalis dan perwakilan masyarakat adat Baduy, termasuk perwakilan dari BUMN, yakni PT Pertamina dan PT. KAI.
Menurut ketua pelaksana, Fasya Candrika, kegiatan ini digelar sebagai upaya untuk mencari formulasi agar kedepan tradisi leluhur di Baduy tetap terjaga. “Kami melihat bahwa perkembangan teknologi sangat mempengaruhi pola fikir, pola sikap dan perilaku anak muda Baduy. Sementara para tokoh adat sangat prihatin dengan kondisi ini. Maka forum ini diharapkan akan memberi solusi terbaik untuk Baduy”, ungkap turunan ke 10 – Pangeran Astapati, yang terlahir dari Kampung Cikeusik – Baduy Dalam. Diketahui bahwa Pangeran Astapati adalah panglima perang Sultan Ageng Tirtayasa dan dinikahkan dengan salah satu putrinya bernama Putri Dahlia.
Tuan rumah sekaligus pecinta Baduy, Teddy Poernama merasakan perubahan suasana saat pertama kali ia berkunjung ke Baduy tahun 2007 dengan situasi saat ini. “Sekarang saya sudah tidak lagi menemukan suasana batin yang dahsyat seperti dulu jika ke Baduy. Ini karena semakin tidak terkontrolnya lalu-lalang para pengunjung” terang pegawai di salah satu BUMN di Jakarta itu.
Salah satu pengamat Baduy sebagai pemantik diskusi yang diundang, Uday Suhada menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Menurutnya, perubahan sosial di komunitas sosial di belahan bumi manapun adalah keniscayaan. “Sejak bersentuhan pertama tahun 1994, perubahan di Baduy terjadi oleh dua faktor utama, yakni karena perkembangan teknologi dan karena semakin membludaknya jumlah orang yang berkunjung ke Baduy”, kata Uday.
Lebih lanjut Uday menguraikan, “Saat ini hampir semua Anak muda Baduy Luar memiliki smart phone. Sekitar 6.000 nomor ponsel, 75% diantaranya digunakan untuk sekedar bermedsos. Yang menggunakannya untuk bisnis hanya sekitar 25%. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap pola fikir, sikap dan perilaku mereka. Karenanya para tetua adat Baduy Dalam, misalnya Jaro Tangtu Alim, Jaro Tangtu Sami, Ki Pantun Mang Karmaen merasa resah akan hal ini”, terang Uday yang juga aktivis antikorupsi di Banten itu.
Masih menurut Uday, yang perlu dicari solusinya adalah bagaimana mengatur ritme kunjungan warga luar. “Atas keengganan mereka dijadikan sebagai salah satu obyek wisata oleh pemerintah, maka pada tahun 2007 para tokoh adat meminta saya bersama (alm) Neli Wahyudin dan (alm) Budi Prakosa untuk menyusun draft Peraturan Desa Kanekes. Kemudian lahirlah Perdes Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes, yang mengatur kunjungan warga luar. Saat ini, dengan kemajuan teknologi, pola kunjungan Saba Budaya yang harus ditertibkan. Mereka boleh ke Baduy, tapi bukan menjadikan Baduy sebagai tontonan. Mereka sebuah peradaban yang memiliki 1001 tabu yang semestinya kita hormati, teladani, sebagai tuntunan” tegas Uday.
Karena itu menurut Uday, sejak sekitar 5 tahun yang lalu para tokoh adat Baduy setuju jika dibuat suatu wadah yang disebut Pusat Informasi Baduy. “Saya bersyukur semakin banyak pihak yang mendukung untuk mewujudkan rencana tersebut. Tak lain, untuk memuliakan kehidupan dan memanusiakan manusia”, pungkasnya.
Di tempat yang sama, VP CSR & SMEPP PT Pertamina, Rudi Arrifianto, menyambut baik gagasan tersebut. “Pertamina juga ingin hadir untuk merawat budaya, termasuk budaya Baduy ini. Kami siap untuk berkolaborasi dengan semua pihak yang memiliki visi yang sama”, terang Rudi. (*)