Oleh: Uday Suhada*1
Perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan bagi kelompok sosial di belahan bumi manapun. Baik karena kondisi geografis, kebudayaan, material, komposisi penduduk, ideologi, atau penemuan baru. Teori-teori perubahan sosial tidak dibahas disini, baik teori siklus, teori linier, teori gerakan sosial, teori moderisasi maupun teori konflik. Yang pasti perubahan sosial pun terjadi pada komunitas adat Kanekes (yang lebih populer disebut Baduy), baik di Baduy Dalam maupun di Baduy Luar.
Persoalannya justru terletak pada bentuk perubahannya, yakni berdasarkan lamanya waktu perubahan, skala dan sifat perubahan itu. Perubahan sosial di Kanekes secara umum berlangsung sangat lambat (evolusioner).
Sedangkan faktor penyebab perubahan sosial di Kanekes diantaranya dari internal, yakni akibat bertambahnya jumlah penduduk. Sedangkan faktor eksternalnya akibat dari pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Perubahan sosial di Kanekes terbagi dua, sebagaimana kelompok sosial yang ada disana, yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perubahan yang terjadi di Baduy Dalam adalah perubahan yang paling lambat. Dimana keteguhan mereka dalam memegang pikukuh, menjadi benteng utama dalam pola sikap dan pola perilaku. Sebagaimana tugas hidup mereka yang berbeda dengan kelompok sosial Baduy Luar. Tugas hidup orang Baduy Dalam adalah “bertapa di Wiwitan”, tidak merubah perilaku dan tidak merusak alam.
Sedangkan perubahan sosial yang terjadi di Baduy Luar relatif lebih cepat dan longgar, sebagaimana tugas hidupnya yaitu “menjaga orang yang Sedang bertapa”. Intensitas komunikasi yang terjadi juga lebih dibandingkan dengan warga Baduy Dalam.
Namun demikian, secara umum, perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Baduy masih terkategorikan lambat. Penyebabnya adalah terletak pada kekuatan mereka dalam memegang teguh prinsip hidup “lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung”, hidup dengan kejujuran dan kesederhanaan.
Adapun perubahan yang terjadi dan nampak secara kasat mata, diantaranya adalah soal perpindahan warga Baduy Dalam ke Baduy Luar, dan Baduy Luar ke luar Baduy. Baik karena atas dasar kesadarannya sendiri, atau akibat dari hukuman adat. Namun hal ini tercover oleh aturan yang menyebutkan, “kami mah lain hayang saeutik, lain embung loba. Ngan lamun teu kuat neguhkeun, matuhkeun titipan, matak nyarimpedan, heug kaluar ti lingkungan adat Baduy”.
Dampak dari perubahan lain bisa dilihat dari hal yang sederhana seperti kosa kata yang diserap oleh warga setempat. Termasuk bahasa prokem, seperti “boker dulu ah”, “oke”, “bro” dan seterusnya. Begitu pula perubahan berpakaian, accesoris yang dipakai, penampilan dan pola perilaku yang terjadi di masyarakat Baduy Luar.
Perubahan sosial yang terjadi di Baduy Luar yang sangat nampak. Misalnya, tahun 1996 penerangan di Baduy Luar mengandalkan lampu cempor/teplok dengan bahan bakar minyak tanah. Tetap setelah minyak tanah menghilang, sebagian warga Baduy Luar sekarang menggunakan penerangan dari lampu listrik yang mengandalkan energi mata hari. Begitu pula dengan kepemilikan smartphone. Sebagian besar generasi muda Baduy Luar sudah memiliki android, dan sudah akrab dengan media sosial seperti Facebook, instagram, TikTok, Youtube dll. Bahkan beberapa diantaranya sudah menjadi youtuber, dengan subscriber yang terbilang banyak.
Penjelasan lain, bisa dilihat di link berita ini : https://banten.idntimes.com/news/banten/muhammad-iqbal-15/tak-enyam-pendidikan-formal-ini-fakta-anak-anak-suku-baduy
KEINGINAN ORANG BADUY
Sesungguhnya keinginan orang Baduy adalah mampu menjalankan tugas hidupnya, yakni “ngabaratapakeun-ngabaratanghikeun” titipan dari Adam Tunggal. Yaitu menghayati dan mengamalkan, tidak merubah perilaku, tidak merusak alam serta memuliakan kehidupan.
Amanat tokoh adar Baduy Dalam di kampung Cikeusik, Jaro Alim pada 30 Juni 2020 adalah: ulah nipu !, jangan menipu.
Adapun keinginan Orang Baduy yang sy serap dari Musyawarah Adat pada 11 dan 18 Juli 2020 antara lain:
Meminta kepada Pemerintah Pusat dan Daerah, kalangan jurnalis, peneliti, pengguna media sosial dan masyarakat pada umumnya agar mengganti istilah Wisata Baduy menjadi Saba Budaya Baduy Meminta kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mencantumkan Sunda Wiwitan di kolom agama pada KTP warga Baduy Luar, Mengajukan permohonan kepada Pemerintah Pusat untuk memberikan lahan sebagai buffer zone di sekeliling Desa Kanekes, untuk melindungi hutan Adat / Tanah Ulayat
Meminta kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk dapat membantu menegakkan Perdes Nomor 1 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy). Salah satu solusinya adalah dengan membentuk lembaga di luar kawasan Adat Kanekes, yang bernama “Pusat Informasi Baduy”.
Tegakkan hukum, agar melahirkan rasa keadilan dan ketentraman.
Secara tak disangka menjelang Pilkada Banten, ketika penulis bersama rombongan Jaringan Pemilih Banten (JPB) melakukan saba budaya sekaligus memperkenalkan gerakan JPB, 16 Januari 2011, kami dibuat terperangan oleh peristiwa di depan mata. Seorang lelaki usia 40 tahunan, berinisial N datang tergopoh-gopoh untuk menemui Jaro Pamarentah (Kepala Desa) – Dainah, yang saat itu sedang berdiskusi dengan kami. Wajah warga Baduy Dalam (kampung Cikeusik) itu nampak tegang penuh rasa takut saat menyatakan sesuatu dengan gemetar: “……..Kaluhur sasipat ning buuk, kahandap sasipat ning dampal, kami ndek menta tobat ka Jaro. Ja datang ka Kokolotan, kami ngarasa sieun, makana kadieu, ieu geh kami kudu ka Cibengkung heula, kusabab kasalahan kami ngalanggar adat, mindahkeun catang di leuweung larangan……” (dari ujung sambut sampai telapak kaki, saya hendak memohon ampunan kepada Jaro. Sebab untuk menemui Kokolotan, saya merasa takut, karenanya saya kesini. Ini pun saya harus ke Cibengkung dulu, sebab kesalahan saya melanggar adat memindahkan puing kayu di hutan lindung).
Nampaknya setelah melakukan pelanggaran tersebut, N selalu dihantui rasa takut dan rasa bersalah. Padahal ketika dia berterus terang, akan banyak proses persidangan adat yang harus dilaluinya. Mulai dari Kokolotan di Cikeusik, kemudian dia juga harus menghadap Jaro Pamarentah, dilanjut ke Kokolot Cibengkung dan berakhir di Tangkesan.
Dengan bijak Jaro Dainah berusaha menenangkan lelaki yang diantar salah seorang anaknya itu. “kiwari geura bae ka Cibengkung, tepungan kokolotan diditu. Kami ngan saukur bisa ngado’akeun supaya geura cageur.” (sekarang silakan ke Cibengkung, temui tokoh adat setempat. Saya hanya bisa mendo’akan agar segera sembuh) seraya merogoh sakunya dan menyelipkan sejumlah Puang ke tas milik N. “Untuk bekalmu dijalan”, ujar Jaro Dainah.
Luar biasa…., ‘hari gini jujur mengaku bersalah?’ sesuatu yang sangat langka, menemukan seorang warga dengan kesadaran penuh mengakui kesalahan yang dilakukannya. Padahal pelanggaran tersebut tidak ada yang mengetahuinya, dan kesalahannya terbilang sepele – hanya sekedar memindahkan puing kayu beberapa meter di perbatasan hutan lindung/leuweung kolot di wilayah Baduy Dalam (Kampung Cikeusik), yang kemungkinannya sangat kecil mengganggu keutuhannya. Disisi lain, pihak yang berwenang untuk diminta maaf justru memberikan uang sekedar membantu perjalanan pelaku untuk melalui proses hukum (adat).
Simpulannya, perubahan sosial terus terjadi di Komunitas Adat Baduy. Yang mengkhawatirkan adalah pengaruh media sosial terhadap pola fikir, pola sikap dan pola perilaku generasi muda Baduy, yang berasal dari smartphone yang dimilikinya. Keberadaan gadget di generasi muda Baduy, tak terkendali penggunaannya. Sebab hanya sebagian kecil saja yang memanfaatkannya untuk berniaga secara online. Selebihnya untuk bermedsos. Ini PR besar bagi para pemangku adat. Tentu saja termasuk kita yang turut peduli terhadap para Manusia Penjaga Alam ini.
Harapan mereka tak berlebihan. Perlakukan saja mereka sebagai manusia yang berperadaban. Nuhun.
“Meunang berekat eta narima bae geh beurat. Aya sanda, aya dasar hukumna narima nukitu etah”. Dahsyat.
- Penulis, Pecinta Komunitas Adat Baduy. Penulis buku Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah. ↩︎