JAKARTA, Suara-Rakyat.ID- Di Indonesia, gempa megathrust bukanlah hal yang baru. Berdasarkan data yang dikompilasi oleh BMKG, terdapat banyak gempa megathrust yang terjadi di berbagai wilayah.
Mengenai megathrust, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan fakta-fakta fenomena alam tersebut dan cara mitigasinya.
Secara harfiah megathrust berarti patahan naik yang sangat besar. Indonesia yang berada di atas ring of fire, memiliki wilayah yang luas dan rentan terhadap megathrust.
Peneliti Ahli Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Nuraini Rahma Hanifa, menjelaskan sebagian besar gempa megathrust dan tsunami terjadi di sepanjang Sumatra, beberapa di Jawa, dan cukup banyak di bagian timur Indonesia.
Terdapat beberapa lokasi terlihat kosong yang sebenarnya bukan berarti tidak ada potensi tsunami, melainkan disebut sebagai ‘seismic gap’. Artinya, sebuah area yang memungkinkan akan terjadinya gempa besar kapan saja.
“Hasil riset yang telah banyak dilakukan dapat berkontribusi dalam upaya pengurangan risiko gempa,” ujar Rahma dikutip dari keterangan resmi BRIN, Selasa (3/9/2024).
“Megathrust beserta potensi gempanya adalah nyata, tetapi hal ini sebagai bagian dari fenomena alam yang harus dihadapi dengan adaptasi dan mitigasi,” imbuhnya.
Berdasarkan peta gempa 2017 yang sedang diperbarui dan diproyeksikan selesai pada akhir 2024, lokasi megathrust di Indonesia umumnya terletak di sisi barat Sumatera hingga selatan Jawa.
“Bidang megathrust ini seukuran Pulau Jawa. Bayangkan jika bergerak 20 meter secara serentak, goncangannya akan sangat besar,” jelasnya.
Di selatan Jawa, megathrust terbentang sepanjang 1.000 km dengan bidang kontak selebar 200 km, yang mengujam hingga kedalaman sekitar 60 km, dan terus mengakumulasi energi yang siap dilepas kapan saja.
“Di bawah Pulau Jawa, terdapat lempeng samudra Indo-Australia yang menghunjam ke bawah selatan Jawa, sedangkan di atasnya ada lempeng kontinental. Pertemuan antara lempeng samudra dan lempeng kontinental inilah yang disebut bidang megathrust,” jelasnya.
Dalam konsep bencana terdapat hal yang bisa dan tidak bisa dikontrol, seperti pergerakan bumi dan pertumbuhan penduduk. Risiko bencana adalah fungsi dari bahaya dan kerentanan, yang dibagi dengan kapasitas atau kemampuan beradaptasi.
Kerentanan ini, kata Rahma, berhubungan dengan eksposur atau pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko bencana dari potensi megathrust, kapasitas adaptasi penduduk harus ditingkatkan.
“Jika hal ini tidak ditingkatkan, sementara kita sudah tahu akan adanya bencana tetapi tidak mengambil tindakan apa-apa, maka kapasitas kita rendah, dan ini akan meningkatkan risiko bencana,” tegasnya.
Rahma menekankan pentingnya pemahaman yang baik tentang megathrust untuk meningkatkan kapasitas adaptasi.
Ancaman dari megathrust terbagi menjadi ancaman primer seperti goncangan gempa permukaan dan surface rupture. Kemudian ada ancaman sekunder seperti tsunami, longsor, likuifaksi, dan kebakaran.
“Kita bisa hidup berdampingan dengan fenomena megathrust, dan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kita memang harus hidup bersama dengan megathrust, apalagi kita berada di negara kepulauan,” pungkasnya.
(dem/dem/SR)
Sumber:CNBC Indonesia