Depok, 10 Desember 2025 — Lebih dari 20 tokoh agama, penghayat
kepercayaan, serta perwakilan organisasi keagamaan berkumpul dalam Lokakarya
Sistem Pangan untuk Tokoh Agama dan Kepercayaan yang diselenggarakan oleh Yayasan
KEHATI bekerja sama dengan Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) pada 7–10
Desember 2025 di Wisma Hijau, Depok. Kegiatan ini menghasilkan Deklarasi
Bersama Tokoh Agama & Kepercayaan yang menegaskan komitmen lintas iman
dalam mendorong transformasi sistem pangan nasional yang adil, berkelanjutan,
serta berakar pada nilai-nilai spiritualitas nusantara.
Dalam lokakarya tersebut, para peserta menyoroti krisis
sistem pangan yang ditandai oleh hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan
fungsi lahan, ketimpangan akses pangan bagi kelompok rentan, hingga pola
konsumsi yang semakin menjauh dari kearifan lokal.
Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman
Hayati Indonesia (KEHATI) Puji Sumedi menekankan bahwa pangan harus dipandang
secara holistik. “Pangan adalah ruang spiritual, ekologis, dan sosial.
Ia bukan sekadar komoditas. Transformasi sistem pangan tidak akan terjadi tanpa
memulihkan relasi manusia dengan alam sebagai anugerah Tuhan,” ujarnya.
Kepala Sekretariat KSPL, Gina Karina, menambahkan bahwa
pendekatan teknokratik tidak cukup dalam menjawab krisis pangan. “Nilai agama
dan kearifan lokal memberikan landasan moral yang kuat untuk menggerakkan
perubahan. Tokoh agama memiliki pengaruh besar dalam membentuk perilaku dan
pilihan konsumsi masyarakat,” jelasnya.
Peran Strategis Komunitas Agama dan Kepercayaan
Di acara yang sama, Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas
Jarot Indarto menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah dan komunitas
iman. “Transformasi sistem pangan merupakan agenda besar dalam RPJMN, dan
partisipasi tokoh agama sangat diperlukan agar kebijakan diversifikasi pangan
serta perlindungan sumber daya lokal dapat berkembang menjadi gerakan luas di
masyarakat,” ujarnya.
Beberapa perwakilan tokoh agama dan kepercayaan turut
menyuarakan beberapa poin penting peran strategis agama dalam program pangan
lokal berkelanjutan. Perwakilan tokoh Katolik dari JPIC, Sr. Maria Monika menyatakan
bahwa dimensi spiritual harus tercermin dalam perilaku konsumsi umat, dan
menurutnya bumi adalah rumah bersama sehingga memilih pangan lokal, mengurangi
sampah, dan menjaga tanah merupakan bagian dari praktik iman sehari-hari.
Dari kalangan penghayat kepercayaan, Kento Subarman
menekankan bahwa pangan memiliki keterhubungan erat dengan adat dan kosmos. Ia
menyatakan bahwa merusak tanah sama artinya dengan merusak diri sendiri,
sehingga regenerasi petani dan perlindungan lahan harus dipahami sebagai laku
spiritual, bukan sekadar upaya teknis.
Deklarasi Bersama
Deklarasi yang disepakati para tokoh agama dan penghayat
kepercayaan menegaskan komitmen untuk memperkuat pangan lokal dan kedaulatan
benih dengan melindungi benih-benih lokal, mendorong diversifikasi pangan, dan
mengembangkan inovasi olahan pangan yang dapat menarik minat generasi muda.
Deklarasi tersebut juga menekankan pentingnya integrasi spiritualitas ekologis
dalam pendidikan dan kebijakan dengan mengarusutamakan ajaran agama dan
kearifan lokal tentang rasa syukur, kesederhanaan, dan harmoni dengan alam
dalam pendidikan formal, khutbah, ritual, serta perayaan keagamaan.
Selain itu, para tokoh menyatakan perlunya perlindungan
lahan dan ekosistem melalui penolakan terhadap alih fungsi lahan subur,
penguatan upaya restorasi lingkungan, dan penegakan hukum terhadap tindakan
yang merusak alam. Mereka juga mendorong regenerasi petani dengan membuka akses
lahan, menyediakan pendidikan pertanian ekologis, dan membangun kemitraan yang
dapat menarik anak muda untuk kembali bergerak di sektor pertanian. Deklarasi
tersebut turut menegaskan bahwa tata kelola sistem pangan harus dilakukan
secara lintas sektor dan melibatkan kementerian terkait, lembaga agama,
komunitas adat, serta organisasi masyarakat sipil secara setara dan
kolaboratif.
Pembentukan Forum Lintas Iman dan Komitmen Bersama Untuk
Sistem Pangan Lestari
Dengan menggunakan pendekatan System Thinking, para
peserta lokakarya merumuskan Teori Perubahan Sistem Pangan Berkelanjutan,
menyusun rencana aksi yang berlandaskan nilai-nilai spiritualitas, dan
menyepakati pembentukan Forum Lintas Agama dan Kepercayaan untuk Sistem Pangan
Lestari. Wakil Kementerian Agama, Deva Sebayang, memberikan apresiasi terhadap
inisiatif ini dan menegaskan bahwa agama memiliki kekuatan moral yang besar,
serta bahwa gerakan lintas iman untuk pangan berkelanjutan merupakan bukti
bahwa spiritualitas dapat memberikan kontribusi nyata terhadap penyelesaian
persoalan nasional.
Deklarasi penutup menegaskan bahwa pangan merupakan hak
dasar sekaligus titipan Tuhan yang harus dijaga, konsumsi pangan harus
dilakukan secara beragam, bergizi, seimbang, dan tidak berlebihan, serta
komunitas agama, penghayat kepercayaan, dan masyarakat adat memiliki peran
penting dalam mendorong perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Para tokoh
lintas iman sepakat bahwa transformasi sistem pangan merupakan gerakan
spiritual kolektif yang perlu diwujudkan demi masa depan Indonesia yang lebih
berkelanjutan.
Artikel ini juga tayang di VRITIMES








