Oleh: Uday Suhada.
Pasca Pemilu Presiden dan Legislatif 2024, beberapa pekan jelang Ramadhan 1445 H, dua sahabat baik ngajak bersesi foto di Kota Serang, kemudian didesain dengan simpel. Satu desain bertuliskan “Wancina Babarengan”, desain lainnya “Sadulur Salembur Kudu Akur, ttd: Calon Bupati Konoha”. Tawa lepas bertiga. Tapi pesan moral dalam media itu tegas. Bahwa segala sesuatu jika dikerjakan bersama akan terasa lebih ringan.
Dalam konteks pasca Pemilu, inilah waktunya untuk hidup rukun dan kembali, berdampingan, bergandengan tangan dengan saudara, tetangga dan teman yang beda pilihan politik. Warga tidak perlu terbawa emosi.
BERPOLITIK TIDAK BOLEH BAPERAN
Kita harus menghormati siapapun presiden dan wakilnya serta siapapun yang terpilih menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Toh pada kenyataannya ketika kita butuh pertolongan, bukan mereka yang pertama kali mengulurkan tangan, tapi pasti keluarga teman dan atau tetangga. Bahwa ada proses konstitutional yang ditempuh oleh para pihak, kita hormati itu, apapun putusannya kelak.
CHEK OMBAK
Keisengan teman ini dilanjut dengan mencetakkan 100pcs baliho ukuran 1,5m x 2m. Entah berapa puluh juta rupiah biaya yang dikeluarkan untuk mencetak dan memasang atribut itu. Sebab tak serupiah pun saya keluar uang. Selain memang tak punya uang untuk itu.
Awal Ramadhan atribut itu disebar ke seluruh penjuru kecamatan se Pandeglang. “Kita chek ombak Kang”. Sesimpel itu alasan mereka berdua. Akhir minggu pertama Ramadhan, begitu banyak kiriman video dan foto dari jejaring yang muncul dari berbagai kalangan. Akibatnya smartphone error seketika. Respons yang jauh melampaui ekspektasi. Tanggal 18 Maret saat milangkala, media mainstream pun turut mempublikasikan sebaran baliho itu.
BEDUG GEUS KEREP
Minggu ketiga muncul lagi kerelaan orang memasangkan billboard di Cikole Pandeglang. Disusul beberapa rim cetakan leaflet untuk disebar ke simpul-simpul jaringan. Subhanallah, berkah Ramadhan.
Situasi seperti ini tentu saja tidak tepat. Sebab bagi mereka yang belum mengenal siapa sosok Uday Suhada, dipastikan akan menganggap siap manggung dengan segenap kesiapan amunisinya; fulus. Sehingga wajar jika ada banyak yang tanyakan sarung, THR, kalimat “aya meureun” dan sejenisnya. Urusannya, “bedug geus kerep”.
AUTO KRITIK
Melihat kampung halaman (Pandeglang) secara kasat mata saat ini, tentu saja keprihatinan mendalam yang muncul. Kita masih berkutat pada persoalan mendasar. Sejak Provinsi Banten berdiri tahun 2000, Kabupaten Pandeglang masih dihadapkan pada persoalan yang sama.
Diataranya infrastruktur jalan yang masih buruk di banyak kecamatan dan ratusan desa; Kualitas pelayanan kesehatan pun masih belum memadai. Angka stunting tinggi; Kualitas pendidikan dasar tertinggal dibanding daerah lain; Daya beli masyarakat masih rendah, beririsan dengan angka pengangguran dan kemiskinan ekstrim; Petani menjerit terjebak sistem ijon dan tangan-tangan tengkulak; Harga gabah rendah saat panen, dan sejumlah persoalan lainnya.
Kita juga masih jumpai praktik korupsi dan pungli pada sektor layanan dasar masyarakat. Aroma tak sedap seperti setoran proyek-proyek, monopoli dan seterusnya. Ribuan pondok pesantren yang tersebar di berbagai pelosok kampung belum mendapatkan perhatian lebih.
Kegelapan semakin nampak. Penerangan di alun-alun Kabupaten saja seperti warung remang-remang, apalagi di pelosok desa.
Di sisi lain APBD Pandeglang hanya di kisaran 2,7 triliun rupiah. Itupun sekitar 60% digunakan untuk gaji pegawai dan belanja rutin pemerintah daerah. Ya, hanya sekira 1 triliun rupiah untuk pembangunan.
Pertanyaannya kemudian, apakah kita bisa keluar dari persoalan ini? Jawabnya, bisa jika mau. Tentu saja kunci utamanya akan ditentukan pada goodwill pemangku kebijakan. Dibutuhkan terobosan dan pola fikir yang out of the box dari seorang leader. Sebab jika hanya mengandalkan APBD, dipastikan butuh puluhan tahun lagi untuk beranjak dari keterpurukan ini.
Pertanyaan selanjutnya, ini salah siapa? Tentu saja kita tak perlu mencari kambing hitam. Sebab yang salah adalah kita semua. Tinggal apakah kita akan terus diam dalam keterpurukan atau bangkit bersama. Sebab Allah SWT sudah mengingatkan kita “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. Tegas dan jelas dalam surah Ar-Ra’d ayat 11.
REAKSI RELASI
Kembali ke hari-hari terakhir, undangan untuk tatap muka mulai bermunculan dari berbagai kalangan. Nelayan, Petani, Kelompok pemuda dan seterusnya.
Reaksi jejaring begitu cepat. Sejumlah tokoh masyarakat yang turut prihatin, memberikan pandangan dan petuahnya. Sebagian dari mereka berpandangan bahwa kecenderungan kejenuhan publik semakin nampak. “Ayo, Bismillah lah, jangan patahkan harapan mereka, jangan khianati keikhlasan kami” begitu salah satu kalimat yang terdengar.
AMANAT KARUHUN
Puluhan tahun belajar mengenai keseimbagan hidup dengan alam di Tatar Kanekes (Baduy) yang memiliki prinsip hidup “lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (yang intinya hiduplah dengan kejujuran), ada pakem yang dipegang teguh dalam hal kepemimpinan.
“Jadi pamingpin mah teu bisa dihayang-hayang, teu beunang diembung-embung. Mun cik Nu Maha Kawasa, kudu jadi, maka pasti jadi. Sebab jadi pamingpin eta beurat, kudu ngabdi ka rahayat, lain dilayanan ku rahayat.” Ya, petuah yang sangat dalam maknanya.
REK DIKUMAHAKEUN PANDEGLANG?
Untuk menjawab berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi Pandeglang yang sangat kompleks, tentu bukan hal mudah. Dibutuhkan keseriusan dan komitment kuat dari pemimpinnya.
Tapi setidaknya sudah ada 9 program unggulan yang ditawarkan kepada rakyat Pandeglang:
1.Perbaikan infrastruktur jalan
2.Peningkatan pelayanan kesehatan
3.Peningkatan sarana-prasarana dan kualitas pendidikan dasar
4.Desa maju, UMKM maju (pemanfaatan digitalisasi desa)
5.Santri Salafi Maju (ijazah formal lulusan pesantren tradisional)
6.Kembalikan Pandeglang sebagai Lumbung Pangan
7.Anti Korupsi, Berantas Pungli (AKBP)
8.Pandeglang Terang
9.Meritokrasi Birokrasi.
JALUR INDEPENDEN
Ruang diskusi terus terbuka dan bergulir. Seketika terbentuk Tim kecil. Kesimpulannya, Uday Suhada harus maju. Tapi seketika muncul pertanyaan besar “dari mana duitnya?”. Memangnya ada Perahu gratisan?.
Dengan tegas Tim kecil ini berkata, “Kiwari Wancina Babarengan, bismillahi tawakkalna ‘alallah, prung urang kumpulkeun KTP warga Pandeglang nu boga kahayang perubahan”.
Maka sejak itu satu-persatu jejaring yang ada bergerak dengan sendirinya, mengalir seperti air. Ribuan KTP mulai terkumpul. Tapi tidak untuk “diceplok tonggong”, melainkan diverifikasi satu persatu. Jika pemilik KTP berkenan untuk menjadi bagian Pengusung, tandatangani Surat Pernyataan Dukungan sebagaimana Silon di KPUD, jika tidak, sobek dan buang, hingga terkumpul setidaknya 75.000 KTP sebagai syarat menjadi Calon Perseoranga (independen).
KOMUNIKASI POLITIK
Untuk bisa menjadi Calon Bupati Pandeglang, seseorang harus diusung oleh minima 10 atau 20% kursi di DPRD. Tentu saja hal itu tidak mudah.
Sebab hasil Pileg 2024, tak satupun Partai Politik (Parpol) yang memperoleh 10 kursi. Artinya tidak bisa mengusung sendiri. Melainkan harus berkoalisi dengan Parpol lain. Itu semua butuh proses yang panjang dan biasanya melelahkan. Butuh amunisi yang besar. Terlebih yang megeluarkan Rekomendasi adalah Pimpinan Pusat Parpol.
Komunikasi Politik tentu saja harus dilakukan. Rakyat pemilik KTP yang berkenan menjadi Pengusung (tak sekedar mendukung) adalah warga Pandeglang, begitu pula Pimpinan Parpol di tingkat kabupaten juga warga Pandeglang. Maka komunikasi Politik merupakan sebuah keniscayaan. Tim Relawan Independen memiliki logika kerja sendiri, demikian pula Parpol, punya cara kerja berbeda.
Cara kerja yang sederhana sudah dimulai, yakni Cacahan dan Babacakan bersama warga di pelosok desa. Tujuannya untuk Jaring Asmara (menjaring aspirasi masyarakat). Dengar secara langsung denyut nadi rakyat di pelosok kampung.
Jika Allah menghendaki, meridhoi, maka catatan yang didapat dari detak jantung rakyat itulah yang harus menjadi pijakan dasar kebijakan kelak.
Wallahu’alam bisshawab