UDAY SUHADA, terlahir dari pasangan Moh. Gozali dan (alm) Ny. Yumah, di Kampung Kuluwut Timur Desa Harapankarya Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pandeglang, 18 Maret 1975. Atas disiplin yang ditanamkan sang ayah dan ibu yang berprofesi sebagai guru, di usia 5 tahun (1980), dengan modal sudah bisa membaca dan menulis, Uday Suhada sudah masuk sekolah di SDN Kuluwut 1, meskipun awalnya dikategorikan sebagai “murid bawang”. Namun karena menempati rangking pertama terus, maka sejak kelas 3 tidak dianggap sebagai “murid bawang” lagi.
Di tahun 1980-an, teman sebayanya banyak yang menggembala kambing. Lulusan SD di desa Harapankarya kanya sedikit saja yang melanjutkan ke SLTP. Sedangkan Uday Suhada sendiri meneruskan sekolahnya ke SMPN 1 Menes, tahun 1986. Selama 3 tahun, untuk menjangkau sekolah, ia harus berjalan kaki PP sekitar 5 kilometer. Meskipun sang bapak punya sepeda motor dan melewati jalur yang sama menuju tempat mengajar, namun Uday Suhada dididik untuk hidup prihatin, berjalan kaki bersama teman sekolahnya di jalan setapak. Jika hujan, sepatu dijinjing hingga bertemu jalan aspal di Bojongcanar.
Suatu subuh, usai Ujian kelulusan SMP, sang bapak mengajak berangkat ke sawah yang cukup jauh dari rumahnya. Berbekal cangkul, bersama bapaknya, Uday Suhada mulai mencangkul sawah di satu sudut. Sekitar satu jam setengah kemudian, bapaknya menghentikannya. Diajaknya istirahat di pematang sawah, membuka nasi timbel yang disiapkan ibunya usai subuh. Di moment itu, bapaknya menawarkan, jika mau bertani, sebaris petakan sawah itu akan diserahkan padanya, atau lanjut sekolah. Seketika Uday Suhada memilih melanjutkan pendidikannya. Maka Uday Suhada mulai merantau, meninggalkan kampung halamannya. Pada tahun 1989 ia sekolah di SMA Muhammadiyah 17 Cipondoh Tangerang. Disana ia mulai mengenal kos-kosan.
Untuk menambah uang jajan, ia membantu ibu kos yang berjualan makanan di samping sekolahnya. Mencarikan kayu bakar, memarud kelapa, mengiris beberapa kilogram bawang merah untuk stok seminggu kedepan, dan sebagainya. Karena kebiasaannya di kampung, di sela-sela kegiatan sekolahnya, di Situ Cipondoh Tangerang ia juga sering mencari ikan kemudian dijual untuk tambahan uang jajannya.
Lulus dari SMA, Uday Suhada memohon kepada orang tuanya untuk lanjut kuliah. Kata Bapaknya, “Boleh. Tapi Bapak hanya bisa mengirim wesel setiap bulan Rp.100.000,-“. Ibu pun berpesan “Fokus belajar dan jangan lupa Tuhan”. Maka berangkatlah ia ke Malang – Jawa Timur. Tahun 1992 itu ia kuliah di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (IKS FISIP UMM). Disanalah ia mulai aktif di organisasi kemahasiswaan. Di intern kampus, meski baru semester III, Uday Suhada terpilih menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan melalui Pemilu Mahasiswa Jurusannya. Berikutnya dipercaya sebagai Sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa FISIP UMM.
Di organisasi ekstra kampus, Uday Suhada memilih bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kemudian pernah terpilih menjadi Ketua Komisariat FISIP UMM, kemudian Koordinator Komisariat (KORKOM) HMI UMM. Meski kesibukannya banyak di organisasi kemahasiswaan, namun studinya ditempuh sesuai rencana. Bahkan untuk menyusun skripsi, Uday Suhada mendapatkan beasiswa dari sebuah Yayasan di Jakarta. Hingga wisuda tiba, uang bulanan yang dikirim sang Bapak, tetap Rp.100.000,-.
Tahun 1997, Uday mulai memasuki dunia kerja. Pertama kali ia bekerja di Lippo Life Jakarta sebagai Financial Advisor. Tahun 1998 pindah kerja di Divisi Personalia sebuah perusahaan Malaysia di Jakarta. Usai Tragedi 1998 dengan gerakan Reformasi yang ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, Uday Suhada memilih pulang kampung.
Tahun 1999 Uday Suhada bergabung sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Mathla’ul Anwar (STIH-MA), pengampu Mata Kuliah Sosiologi, Ilmu Logika dan Metodologi Penelitian. Ia juga sempat mengajar Mata Kuliah Metodologi Penelitian di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Sekolah Tinggi Ilmu Agama – Mathla’ul Anwar. Di kampus itu Uday Suhada turut menyusun Statuta yang membidani lahirnya Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) tahun 2000. Sampai tahun 2003, bersama teman-temannya mendirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Uday Suhada dipercaya menjadi Pembantu Dekan III yang membidangi Kemahasiswaan di FISIP UNMA. Saai itu Uday Suhada sempat melanjutkan studinya di Program Magister UNIS Tangerang. Di sisi lain ia juga aktif sebagai penggiat lingkungan di WALHI Jawa Barat.
Di waktu yang sama, Uday Suhada juga turut membersamai para tokoh pendiri Provinsi Banten, yang kemudian disahkan pada 4 Oktober 2000. Usai itu, Uday Suhada aktif di organisasi non pemerintah. Mulai dari mendirikan LSM Mentari, menjadi Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Masalah Publik (LAMP), hingga mendirikan Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP). Dalam pandangannya, masyarakat sipil harus turut aktif berkontribusi dalam penyelenggaraan pembangunan. Kontrol dari masyarakat sipil terhadap lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif menjadi penting, untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan.
Gerakan Uday Suhada dan jaringannya kerap membuat pejabat publik yang bermasalah tidak tenang. Tahun 2004 misalnya, Uday Suhada membongkar kasus korupsi Dana Perumahan DPRD Banten. Seluruh Pimpinan dan DPRD dan sebagian besar Anggota DPRD Banten kala itu masuk penjara.
Perkara besar lain yang ia bongkar di waktu yang sama adalah kasus sengketa Lahan Karangsari di Carita – Pandeglang.
Tahun 2007 Uday Suhada berhenti menjadi dosen. Kemudian kembali ke Jakarta dan menjadi Peneliti di Lembaga Survei Indonesa (LSI). Setahun kemudian lahirlah Lembaga Konsultan Politik pertama di Indonesia, yakni Fox Indonesia. Di lembaga itu Uday Suhada direkrut menjadi Konsultan Strategi Politik. DI lembaga ini ia malang-melintang ke berbagai daerah di Tanah Air.
Di tengah kesibukannya berprofesi sebagai konsultan politik, Uday Suhada masih tetap saja memperhatikan kampung halamannya. Tahun 2006, bersama para aktivis lainnya dan kelompok mahasiswa binaannya, membongkar kasus suap kepada seluruh anggota DPRD Pandeglang atas Pinjaman Daerah Rp.200 milyar dari Bank BJB. Para Pihak yang disuap sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum, namun Pihak Penyuapnya hingga kini belum tersentuh.
Tahun 2011, Uday Suhada kembali menyambangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perkara yang dibongkarnya soal korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial senilai Rp.335 milyar untuk 221 lembaga. Uday menemukan adanya lembaga penerima yang fiktif, lembaga penerima yang tidak utuh menerima bantuannya serta lembaga penerima yang bukan lembaga, seperti “Safari Ramadhan” untuk Gubernur Banten kala itu.
Di tahun yang sama, lahirlah lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Uday Suhada kembali aktif menjadi konsultan politik, hingga resign pada pasca Pemilu 2019. Kemudian ia mendirikan lembaga sejenis bernama Us Politica.
Peran Uday Suhada dalam membongkar kasus korupsi di Banten berikutnya terjadi pada tahun 2013. Diawali dari sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, kemudian menjadi pintu masuk terbongkarnya berbagai kasus korupsi di lingkungan Pemprov Banten, yang kerugian keuangan negaranya mencapai Rp.79 milyar. Peristiwa itu menjadi sejarah pertama gubernur perempuan di Indonesia yang diamankan KPK, pada Jum’at Keramat (20 Desember 2013).
Tentu saja perjuangan Uday Suhada dan teman-temannya tak mulus begitu saja. Ada banyak tantangan dan godaan. Mulai dari iming-iming uang milyaran rupiah, hingga ancaman fisik dan non fisik.
Pada tahun 2021, Uday Suhada kembali membongkar kasus korupsi yang mirip dengan kasus korupsi sepuluh tahun sebelumnya. Yakni kasus korupsi Bantuan Hibah Pondok Pesantren dari Pemprov Banten. “Deja Vu Korupsi Dana Hibah Pesantren” menjadi judul Majalah Gatra. Istilah Metro Tv dalam program Metro Realitas, “Belah Semangka Dana Pesantren”.
Ia berani melakukan itu karena ingin agar hak-hak Pondok Pesantren, terutama Ponpes Tradisional tidak dimangsa oleh oknum-oknum yang terlibat di dalamnya. Uday Suhada ingin menumpas para oknum yang bertopeng agama.
Bagi Uday Suhada, tujuan utama gerakannya adalah untuk menyelamatkan uang negara dan melahirkan rasa keadilan di masyarakat. Mengingatkan para pengambil kebijakan untuk mengutamakan kepentingan publik. Jika dari terungkapnya kebenaran, kemudian ada pihak yang terseret ke penjara, itu adalah dampak saja.
Di sisi lain, Uday Suhada merupakan pemerhati Baduy. Ia konsisten menjadi Pendamping Komunitas Adat Baduy. Baginya, Baduy seperti kampung halaman keduanya. Sebab sejak tahun 1994 bergaul dengan komunitas adat yang memiliki prinsip hidup “lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung”, hingga kini masih terus berjalan.
Uday Suhada juga terus mengkampanyekan Saba Budaya Baduy. Sebab Baduy adalah sebuah peradaban. Baduy bukan obyek wisata, bukan tontonan, tapi tuntunan. Soal Baduy, Uday Suhada juga pernah menulis buku berjudul “Masyarakat Baduy dalam Rentang Sejarah), 2002, Penerbit Dindikbud Provinsi Banten.
Sejak 2021, Uday Suhada ditunjuk sebagai Koordinator Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Banten (KMSB). Di dalamnya terdapat 32 organisasi masyarakat sipil, yang memiliki kesamaan pandangan bahwa masyarakat sipil harus berkolaborasi dalam mengawal proses penyelenggaraan pembangunan. Mengadvokasi masalah publik menjadi bagian dari kegiatan sosial KMSB, sekaligus sebagai bentuk ikhtiar membangun kesadaran kolektif bahwa masyarakat sipil harus semakin memiliki nilai tawar dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan. (***)